38 | Dilupakan (?)

🥀 Surga Dalam Luka 🥀

Adnan menatap isi ruang rawat dari celah kaca berukuran persegi yang menempel di pintu berwarna cokelat tersebut. Pemandangan di dalam yang membuat jantungnya begitu berdebar kencang. Matanya terasa panas. Tangannya terkapal erat. Gemuruh emosi di dada menyelimutinya. Semua kejadian berdua bersama terlintas dengan begitu mudahnya di kepala.

Afifah, perempuan cantik yang berbeda umur dengan Adnan 2 tahun itu, sedang belajar untuk berdiri. Perempuan itu dipapah oleh dua orang suster yang dengan telatennya berada di kedua sisinya. Ada juga ibu yang berdiri dengan menatap khawatir putrinya yang sedang berusaha memulihkan tenaga tubuh setelah beberapa bulan koma.

"Nanti kalau kamu udah jadi istri aku, aku akan jadikan kamu istri paling bahagia di dunia ini."

Adnan mengingat kalimat yang pernah terucap dari bibirnya tiga tahun silam untuk perempuan yang segala kenangan bersamanya seperti cd player yang sedang memutar film dengan begitu apiknya.

"Mas mau jadiin aku istri Mas? Emang Mas ada niat untuk lamar aku?"

Adnan juga ingat, Afifah membalas ucapannya dengan sebuah pertanyaan balik. Sorot mata Afifah yang begitu terang dan cerah, membuat bibir Adnan mengembangkan senyum saat itu.

"Kalau gitu sekarang kita ke KUA, gimana?"

"Ih, Mas... ada-ada aja, deh."

Adnan tertawa. Tangannya bergerak mengacak puncak kepala Afifah yang rambutnya tergerai indah hingga punggung. "Kalau suatu saat nanti aku lamar kamu, kamu harus terima ya. Nggak boleh ditolak, karena kalau nanti aku patah hati, kamu harus tanggungjawab."

Afifah balas tertawa. Jajaran gigi putihnya terlihat mendengar ancaman Adnan yang justru membuat jantungnya ikut berdebar. Ia tak menyangka jika akhirnya Adnan sudah mulai memikirkan kemungkinan mereka berdua berlanjut ke jenjang yang lebih serius.

"Memangnya, kenapa Mas mau nikah sama aku? Aku kan bukan dari keluarga kaya, nggak sebanding sama keluarga Mas yang udah kaya tujuh turunan itu."

Adnan menyentuh kedua tangan Afifah dengan erat. Matanya menyelam masuk ke dalam manik hitam milik Afifah. "Justru karena aku udah merasa cukup dengan semuanya, jadi yang aku butuhkan hanya kamu."

Dulu, kenangan itu memang terasa begitu membahagiakan. Dulu, kenangan itu memang terasa begitu menyenangkan. Membuat Adnan saat itu merasa menjadi lelaki paling bahagia karena memiliki kekasih seperti Afifah.

"Mas Adnan harus temui Mba Afifah. Mba Afifah pasti akan khawatir saat terbangun nanti tidak ada Mas di sisinya. Kalian sedang bersama untuk terakhir kalinya."

Dengan tiba-tiba, Adnan seolah ditarik paksa kesadarannya oleh kalimat yang tiba-tiba terngiang di dalam kepalanya menenangkan dari seorang Arraya.

"Mas kan nggak ninggalin aku, Mas hanya pergi sebentar. Lagipula, aku akan nyusul Mas ke Jakarta."

Adnan menatap gamang ke arah depan. Tangan kanannya yang semula berada di atas gagang pintu, berniat untuk membuka pintu jadi terurungkan. Kakinya mundur selangkah ke belakang. Adnan memutar tubuhnya.

"Ini bukanlah yang Raya harapkan," Adnan mengatakannya di dalam hati. Ia merasa ini bukanlah sesuatu yang tepat. Mendadak ia jadi merasa sangat bersalah karena dengan mudahnya dibujuk rayu oleh Raya yang memang ingin ia pergi.

Bertepatan saat kaki Adnan ingin melangkah maju ke depan, menjauhi ruang perawatan itu, suara pintu yang terbuka mendadak membuat Adnan langsung menghentikan langkahnya.

"Adnan?"

Mungkin seharusnya ia memang tidak datang ke rumah sakit. Karena dengan kehadirannya saat ini, dan juga suara dari orang yang begitu dikenalnya, yaitu ibu dari seorang perempuan yang pernah ia cintai dulu mulai menyapa telinganya setelah sekian lama.

Dulu? Adnan berharap kata 'dulu' akan menjadi sihir yang ampuh untuk menghilangkan perasaan gundahnya saat ini. Mengenal seseorang dalam waktu yang lama, menghabiskan waktu bersama, bahkan saling berbagi cinta dan juga perhatian yang secara timbal balik diberikan untuk waktu yang lama, tak akan semudah membalikkan telapak tangan.

"Benarkah itu kamu?" tangan Yanti mulai merambat menyentuh lengan kanan Adnan. Membuat Adnan semakin mematung di tempat, tak dapat menggerakkan kedua kakinya.

Melupakan masa lalu berarti harus siap melepaskan segala hal yang berkaitan dengan itu semua. Melupakan masa lalu berarti harus siap untuk membuka lembaran baru.

"M...Mas Ad... Mas Ad...nan!"

Suara itu. Lirih suara itu. Adnan tiba-tiba begitu merindukan suara itu setelah sekian lama. Adnan seketika begitu ingin memutar tubuhnya dan menatap perempuan yang kini malah ia rindukan segala tentangnya.

Sebuah gerakan yang sangat lambat melingkar di perutnya, membuat Adnan tak berkutik. Ia tak dapat lagi mendengar suara apa pun, selain suara isak tangis perempuan yang wajahnya kini menempel erat di balik punggungnya.

🥀🥀🥀

Adnan menatap wajah Afifah yang kini sudah kembali tertidur di atas ranjang rumah sakit dengan selimut yang menutupi tubuhnya hingga sebatas dada. Adnan menatap wajah Afifah yang kedua pipinya terlihat begitu kurus hingga memperlihatkan tulang pipinya. Tangan yang kini kembali terpasang selang infus itu juga tampak begitu kurus. Tulang-tulang ruas jarinya bermunculan, menandakan bahwa pemilik tubuh memang sudah kehilangan banyak asupan nutrisi.

Di pertemuan pertamanya setelah sekian lama dengan Afifah dihabiskan dengan Afifah yang menangis di punggung Adnan. Perempuan itu hanya bisa menangis, tanpa bisa mengucapkan apa pun. Jari-jari kurusnya itu juga berusaha untuk meraih kemeja yang dikenakan Adnan. Seolah mengatakan bahwa ia begtitu merindukan Adnan. Namun tak berselang lama, Afifah langsung jatuh pingsan hingga akhirnya harus kembali di bawa ke ranjang guna perawatan lebih lanjut.

Benda melingkar yang ada di jari manis kiri Afifah mengalihkan pandangan Adnan. Pandangannya menjelajah jauh mengingat bagaimana perjuangannya agar cincin yang kini masih ada dipakai Afifah itu bisa terpasang sempurna dulu. Perjuangannya untuk bisa meyakinkan Afifah agar mau menikah dengannya. Kenangan manis Afifah dengan senyum mengembang saat menerima lamarannya. Cincin itu begitu sarat akan makna.

"Adnan, Ibu mau bicara sama kamu."

Adnan menoleh, menatap ibunya Afifah dari kursinya. Melihat Yanti yang masih menunggu dirinya, akhirnya Adnan ikut berdiri. Sama-sama berjalan keluar dari ruang rawat Afifah.

"Ada yang perlu Ibu bicarakan, Adnan."

"Ada apa, Bu?" Adnan hanya bisa berharap jika ekspresi ibunda Afifah padanya bukanlah karena kabar gila yang sejujurnya takut untuk Adnan pikirkan.

"Bolehkah Ibu menagih janji kamu ke Ibu sekarang?"

"Janji apa, Bu?" Adnan masih juga tidak mengerti maksud ibu paruh baya di depannya.

"Tolong nikahi Afifah secepatnya Adnan. Karena Alhamdulillah Afifah sudah sadar, Ibu rasa seharusnya kamu juga harus mulai menyiapkan pernikahan kalian. Jika terus ditunda, Ibu takut terjadi apa-apa dengan Afifah, Adnan."

Adnan membuka sedikit mulutnya. Mencerna tiap kata yang meluncur dari orangtua Afifah.

Yanti menyeka sudut matanya dengan sapu tangan yang mulai kembali menitikkan air mata. "Awalnya Ibu pikir kamu sudah tidak peduli lagi dengan Afifah. Kamu sudah jarang ke sini tiga bulan ke belakang, bahkan Ibu takut kalau kamu sudah melupakan Afifah. Tapi saat melihat kamu di sini, Ibu jadi yakin lagi kalau kamu memang masih mencintai Afifah. Jadi Ibu sangat berharap kamu tidak pernah melupakan janji kamu dulu."

Adnan menatap gamang pada seorang ibu yang kini sedang memohon padanya untuk menikahi putrinya.

"Adnan, kamu benar akan menepati janji kamu pada Ibu saat itu, kan?"

Adnan menggelengkan kepalanya, kakinya mundur selangkah ke belakang. "Bu, tapi saya..." Adnan tak jadi melanjutkan kalimatnya begitu tangan Yanti menyentuh erat tangannya.

"Adnan, Ibu mohon. Bahagiakan Afifah, nikahi dia dan cintai dia sepenuh hati."

🥀🥀🥀

Kedua kaki Arraya yang sudah memakai sepasang sepatu, masih berdiri diam menatap sekeliling kamar yang ia gunakan bersama Adnan selama 3 malam ini. Setiap sudutnya memiliki kesan tersendiri untuknya. Dan di atas kasur, begitu banyak kenangan manis yang tercipta. Begitu banyak melodi cinta yang menyatukan mereka di atasnya. Kenangan yang harusnya indah itu, kenapa malah berubah menyedihkan?

Raya mengangkat jemarinya untuk menghapus jejak air mata yang kembali menoreh bekas sedih di wajahnya. Ia menarik napas panjangnya. Enggan kembali bersedih, Raya memutuskan keluar dari kamar tersebut dengan menggeret koper miliknya. Raya akhirnya bulat memutuskan untuk kembali ke Jakarta menyusul Adnan setelah kemarin ia memutuskan untuk tetap tinggal di hotel. Ia masih belum siap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi jika ia pulang ke Jakarta nanti.

Menyesali sesuatu yang sudah berlalu terjadi, tak akan pernah ada habisnya. Penyesalan memang selalu datang terakhir. Semula merasa semuanya baik-baik saja, namun dalam sekejap semuanya berubah, hingga penyesalan hadir tanpa permisi.

Bertepatan saat kedua kaki Raya sampai di meja resepsionis, satu petugas hotel perempuan menghampiri dirinya.

"Ibu, saya cari Ibu ke mana-mana. Karena saya harus melakukan konfirmasi mengenai ruang yang Ibu pesan kemarin."

"Ruang apa Mba?" ulang Raya dengan wajah yang sudah tak bersemangat.

"Ruang yang Ibu pesan khusus kemarin..."

Arraya diam sejenak. Wajah yang semula terlihat datar kini mulai mengembangkan senyum tipis.

"Semalaman saya menunggu Ibu dan suami Ibu, tapi tidak ada yang datang ke ruangan tersebut. Saya jadi bingung harus bagaimana, karena seharusnya pagi ini saya dan tim harus sudah kembali merapihkan semuanya, mengingat waktu yang Ibu pesan untuk ruang tersebut juga sudah berakhir."

"Suami saya ada urusan mendadak di Jakarta kemarin pagi, dan saya juga harus pulang hari ini, Mba."

Petugas tersebut hanya mengangguk-angguk, mencoba mengerti. "Baik Ibu kalau begitu. Saya juga minta maaf karena harus membereskan semua yang sudah Ibu rancang demi kejutan untuk suami Ibu."

Arraya hanya bisa membalas dengan senyum tipis. "Sebelum pulang, boleh antar saya ke sana, Mba?"

"Boleh Ibu, tentu boleh. Mari saya antarkan..."

Begitu keduanya sampai di depan sebuah ruang dengan pintu jati yang masih tertutup rapat, Raya berhenti di belakang petugas hotel.

"Bisa tolong tinggalkan saya sebentar, Mba?"

"Tentu Ibu," setelah membukakan pintu ruangan tersebut kepada Raya, petugas hotel tersebut langsung undur diri sesuai permintaan Arraya.

Begitu kedua kaki Raya masuk ke dalam ruang tersebut, air mata langsung berlomba-lomba keluar dari pelupuk matanya. Tak dapat dibendung lagi, begitu matanya mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruangan tersebut.

Dekorasi ruangan, foto-foto yang ditempel hingga membentuk hati, juga sebuah kotak hadiah kecil yang ada di tengah sana semakin membuat hati Raya terpecah belah. Hari ini adalah hari ulang tahun Adnan yang ke 27 tahun. raya tak berniat merayakannya, hanya saja ia menyewa ruang tambahan karena ingin memiliki lebih banyak momen manis bersama suaminya. Terlebih, kemarin malam Adnan juga sudah menyiapkan kejutan untuknya, tanpa ingat bahwa lelaki itu sendiri sedang berulang tahun.

"Kamu habis dari mana aja sih, Ra? Mas cariin kamu dari tadi loh..."

Saat Adnan panik mencari dirinya dua hari silam, Arraya sedang sibuk menyiapkan kejutan untuknya. Arraya bahkan juga sudah menyiapkan kejutan itu jauh-jauh hari sebelum mereka pergi ke Raja Ampat. Berbeda dengan kejutan dari Adnan untuk Arraya yang terkesan mendadak namun begitu terasa sempurna dan romantis.

Arraya menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ia kembali menangis setelah semalaman juga menangis hingga membuat kedua matanya sembab dan sedikit membengkak.

Arraya mencoba menarik dalam-dalam napasnya. Mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri. Jika saat ini tak ada bahu untuk dirinya bersandar, maka sudah seharusnya ia bisa mengendalikan semua perasannya seorang diri.

Kejutan pertama yang Arraya ciptakan untuk sang suami, ternyata terpaksa dibatalkan karena kejadian yang tak diduga. Arraya harus bisa mengikhlaskan kenangan yang seharusnya akan tercipta satu lagi jika ia berhasil memberikan kejutan itu untuk Adnan. Namun kenyataannya, kini semuanya hanya tinggal harapan yang semu. Harapan yang hanya tinggal menjadi angan.

🥀🥀🥀

Ratusan ribu orang setiap harinya melakukan penerbangan di Bandara Internasional Soekarno Hatta. Ada yang melakukan penerbangan domestik hingga penerbangan internasional ke berbagai macam negara. Puluhan maskapai penerbangan siap melayani masyarakat Indonesia juga masyarakat dari luar negeri yang ingin datang atau pergi ke Indonesia.

Dari banyaknya orang yang berlalu lalang, satu orang perempuan sedang duduk di salah satu kafe yang ada di bandara. Rasanya sudah hampir dua jam lebih ia duduk di sana. Sudah dua kali ia memesan minuman yang berbeda, namun yang ditunggu tak kunjung datang. Dari dua minuman itu, tak ada yang dihabiskan. Ia hanya memesannya karena tidak enak jika menunggu lama di kafe tersebut tanpa banyak memesan.

Waktu semakin terkikis, berlalu pergi tanpa ingin kembali. Arraya Kirania masih bertahan di kursinya. Tatapannya kosong menatap ke depan. Nomor suaminya tidak bisa dihubungi lagi. Terakhir ia menghubungi Adnan adalah sebelum pesawatnya take off, dan saat itu Adnan janji yang akan langsung menjemput dirinya. Namun kini, bagaimana dengan janjinya?

"Boleh saya duduk di sini?"

Raya mengedipkan matanya beberapa saat dan mengangkat kepalanya saat mendengar suara seseorang berbicara padanya. Seorang pria dengan tinggi 180 cm berdiri di samping meja Raya dengan memegang segelas kopi dan juga roti di atas piring kecil. Raya tak terlalu memperhatikan wajah pria itu selain yang Raya lihat dengan jelas adalah pria tersebut memiliki warna mata cokelat terang dan alis yang tebal. Mungkin jika Raya mau lebih memperhatikannya, wajah pria itu sudah pastilah tampan.

"Ya?"

"Boleh saya duduk di sini?" pria itu kembali mengulang pertanyaannya.

Raya diam beberapa saat. Ia melirik meja sekitarnya, masih banyak meja dan kursi yang kosong.

"Saya tahu masih banyak meja dan kursi kosong, tapi saya lihat dari tadi kamu sendirian, jadi saya pikir saya ingin menemani kamu menghabiskan 2 minuman yang belum kamu habiskan itu."

Satu tangan Raya yang berada di bawah meja, langsung tertutup rapat. Rupanya pria itu memang berniat untuk satu meja dengannya agar bisa menemaninya dalam kesendirian.

Arraya hanya diam sambil beristighfar di dalam hati. Jika Adnan ada di sisinya, sudah pasti tidak akan ada pria yang ingin menemaninya. Jika Adnan ada di sisinya, setidaknya itu bisa meminimalisir mata para pria agar tidak memperhatikannya.

"Jadi bagaimana? Boleh saya menemani kamu di sini?"

"Saya sudah menikah." Satu kalimat berhasil meluncur dari bibir Arraya tanpa berbasa-basi. Membuat pria itu langsung menunduk malu dan berlalu pergi setelah meminta maaf.

Raya menghela napas panjang. Ia melirik jam tangan silver di pergelangan tangannya. Waktu akan terus berjalan, dan ia tidak mungkin menunggu terus di bandara tanpa tahu di mana Adnan, sedangkan Adnan sama sekali tidak bisa dihubungi.

Arraya langsung bersiap berdiri sambil memegang dorongan kopernya. Pada akhirnya ia memutuskan pergi seorang diri tanpa menunggu kehadiran yang tak pasti. Arraya ingin sudah berada di rumah sebelum maghrib menjelang.

Arraya melangkah perlahan dengan tatapan datarnya menatap ke depan tanpa ekspresi. Kepalanya sudah terlalu pening dengan segala pikiran negatifnya sejak kemarin, dan Raya ingin mengistirahatkan pikirannya walau sejenak.

"Mungkinkah Mas Adnan masih bersama perempuan itu?"

"Karena itukah Mas Adnan tidak bisa dihubungi?"

"Karena itukah Mas Adnan lupa akan janjinya?"

Lagi, air mata tak dapat dipaksa untuk terus diam. Mereka selalu siap mengalir jatuh walau Raya sudah menahan diri. Sudah ia katakan pada dirinya sendiri untuk tidak menangis. Sudah Raya katakan pada dirinya sendiri jika ia tidak akan berpikiran buruk jika belum melihat sesuatu yang real terjadi di hadapannya.

Arraya mengusap seluruh wajahnya dengan kedua telapaknya hingga wajahnya memerah. Kepalanya seolah diputar 180 derajat tiba-tiba hingga merasakan tubuhnya ikut melayang. Pandangannya menghitam, Raya tak lagi dapat menopang beban tubuh pada kedua tapak kakinya.

Dalam sepersekian detik, Raya merasakan tubuhnya limbung ke lantai. Napasnya yang bergerak cepat itu masih mengusahakan agar matanya masih bisa fokus untuk memikirkan kenapa ia bisa terjatuh. Tapi sayang, tubuhnya yang sudah limbung itu tak lagi mengizinkannya berpikir ataupun bertahan membuka mata. Yang ada di hadapannya kini hanyalah gelap tanpa ada sedikitpun cahaya yang menerpa. 

🥀🥀 TBC 🥀🥀

Gimana gimana gimana? 

Gak sedih kaan? emang aku mah dah gak jago bikin yg sad sad wkwk, pasti jatohnya garing kayak kerupuk haha

Jangan lupa vote dan komennya kalau masih nunggu dan penasaran akan kelanjutan kisah Adnan dan Arraya ❤

Jazakumullah ya Khair ❤

TAMAT : 17 MEI 2020

REVISI : 14 SEPTEMBER 2020

Komentar